NOTULENSI SARESEHAN KESEJARAHAN
DESA BEDANTEN, KEC.BUNGAH KAB. GRESIK
(Rabu, 10 April 2019)
PEMBUKAAN :
Sambutan : Kepala Desa Bedanten
Pemantik : Tim Pegiat Sejarah Desa Bedanten
ACARA INTI
Moderator : Didin Ahmad Zaenudin
Pembicara : K.Ng.H Agus Snyoto (Ketua Umum LESBUMI PBNU)
Keywords:
Agama Nusantara.
Pembentukan suatu tempat.
Kedatangan Bangsa Arab ke Nusantara.
Perang Jawa
Menjaga Tradisi di Era Globalisasi
PEMAPARAN
Agama Nusantara.
Zaman Kuno
Sejak zaman kuno, penghuni kepulauan Nusantara menganut suatu kepercayaan yang disebut Kapitayan. Menurut mitologi jawa kepercayaan ini dibawa oleh Semar.
Didalam ajaran Kapitayan terdapat ritual peribadatan yang disebut Sembah-Hyang (sembah Sang Hyang Taya -mod) dan kebiasaan Upuwasa/Puasa/Pasa/Poso, tidak makan minum sejak matahari terbit sampai tenggelam.
Ada empat gerakan utama dalam ritual peribadatan Sembah-Hyang, yaitu : Mula mula Swadikep sambil Tu-lajeg (berdiri tegak), Tu-ngkul (menunduk), Tu-ndak (bersujud), Tu-ndem (bersimpuh)
Dalam ajaran Kapitayan terdapat sebuah kepercayaan bahwa segala sesuatu memiliki kehidupan (nyawa) maka segala sesuatu patut dihormati, seperti menyebut rumah dengan sebutan Sang Omah, serta mensakralkan benda-benda yang besar seperti pohon, batu, matahari, bulan laut dan gunung.
Tempat sakral penganut kapitayan biasa disebut Kabuyutan, sedangkan tempat ritual yang dianggap suci disebut Punden.
Zaman Kerajaan (lebih spesifik membahas wilayah Jawa)
Pada masa kerajaan, masyarakat Jawa terbagi dua : 1) Masyarakat Keraton yang beragama Hindu atau Budha 2) Masyarakat diluar Keraton yang masih menganut kepercayaan kuno.
Penyebaran Agama Hindu di Jawa dipusatkan di bukit-bukit dan pegunungan (karena merupakan tempat yang cocok untuk meningkatkan spiritual -mod) seperti Gunung Surowiti yang diambil dari nama Gajah Tunggangan Batara Indra
Di wilayah Bungah, Batara Indra mendapat perlawanan dari Batara Syiwa, Indra kalah dan bersembunyi disebuah bukit, sehingga tempat tersebut dikenal dengan nama Indradelik, (tempat bersembunyi Indra)
Para petinggi kerajaan dan prajurit perang menganut ajaran Syiwa Tantra atau Tantrayana yang mengamalkan Panca Makara atau Ma-lima (molimo) untuk mendapatkan kesaktian.
Kalitangi (Kebangkitan Dewi Kali) adalah salah satu tempat pusat ajaran Tantrayana yang ada di wilayah Gresik, Orang lebih mengenal dengan nama Bengawan Setra. Setra adalah sebutan untuk tempat ritual Panca Makara.
Ritual Ma-Lima inilah yang nantinya diakulturasi kedalam ajaran Islam oleh Walisongo menjadi tradisi Selametan, Kenduren dll.
Nama Walisongo yang ada di wilayah bekas ajaran Tantra disebut dengan nama-nama agung Syiwa, seperti Sunan Giri yang disebut dengan nama Betara Nata atau Prabu Satmata. Batara dan Satmata adalah sebutan lain untuk Syiwa.
NB : Terjadi proses arabisasi nama-nama walisongo, seperti Sunan Giri dengan gelar Prabu Satmata menjadi Syekh Ainul Yaqin. Sunan Drajat yang bernama Masakeh Munat menjadi Raden Qosim.
Perdamian kedua kepercayaan antara Hindu-Syiwa vs Budha-Indra menghasilkan konsepsi Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa.
Zaman Islam
Setiap penyebaran agama di Nusantara selalu menghadapi lika-liku dan perlawanan dari masyarakat setempat. Namun yang paling tragis adalah proses penyebaran agama Islam ketika masuk ke Jawa.
Dalam kitab Musoror yang terdapat di Giri Kedaton diceritakan bahwa Sultan Algabah dari negeri Rum mengirim 200.000 pasukan ke Jawa, namun banyak yang mati terbunuh dan dimakan oleh siluman, dan penghuni pulau jawa. Sehingga hanya tersisa 2000 orang saja.
Dalam Musaror diceritakan juga perjumpaan Syaikh Subakir dengan Dhanyang Pulau Jawa di Gunung Tidar. Dan terdapat kesepakatan diperbolehkan menyebarkan ajaran Islam karena memiliki banyak kesamaan dengan ajaran orang Jawa.
Wali Songo mengakulturasi kepercayaan dan ajaran orang Jawa kedalam agama Islam tanpa merubah istilah-istilah peribadatan dan ritual lain, seperti Sembahyang untuk menyebut Shalat, Puasa untuk menyebut Shaum dll
Pembentukan suatu tempat.
Penempatan suatu wilayah (babad alas) pada zaman dulu selalu berkaitan dengan penyebaran agama atau peristiwa yang terjadi di tempat tersebut. Seperti yang telah disebut diatas. Penamaan Bukit Surowiti di kecamatan Panceng, Gresik berkaitan dengan nama Gajah tunggangan Batara Indra penganut Budha Mahayana, Kalitangi atau Bengawan Setra di Kecamatan Kebomas erat kaitan dengan nama Dewi Kali dan ritual panca Makara dalam ajaran Tantrayana.
Adapun Penamaan Desa Bedanten, atau disebut Madanten dalam beberapa Naskah Kuno, Bisa Jadi ada kaitanya dengan batara Indra yang memiliki Gajah Tunggangan. Karena dalam Bahasa Jawa Kuno, Meda/Mada berarti Keringat Gajah. (Imbuhan -ten di belakang kata Mada-ten merupakan transhirarki dalam tata bahasa jawa. -mod).
Penemaan Mada(n)ten bisa jadi berkaitan dengan suatu peristiwa dimana terdapat keringat gajah disana, misalnya peperangan antara batara Indra yang menunggangi gajah melawan batara Syiwa.
Pernyataan diatas merupakan Hipotesa awal, setidaknya merupakan sudut pandang lain dari literatur yang sudah ada dan dianut oleh kebanykan orang saat ini mengenai penamaan Desa Bedanten (Madanten) - Notulen
Kedatangan Bangsa Arab ke Nusantara.
Pemateri mulai menyinggung pembahasan tentang Keberadaan Makam Sayyid Alhusaini
Kedatangan orang Arab ke Jawa terjadi dalam beberapa arus besar berdasarkan peristiwa yang terjadi di wilayah asalnya atau kepentingan lain seperti hubungan bileteral antara Hindia Belanda dan Yaman.
Gelombang pertama, terjadi pada tahun 1790, ketika terjadi gejolak besar kebangkitan ajaran Wahhabi Jazirah Arab, mereka menyerang kaum yang mensakralkan Hasan-Husein di Karbala, dan mengincar Para Keturunan Nabi yang bergelar Sayyid di wilayah Hijaz termasuk Makkah dan Madinah.
Sebagain golongan Sayyid yang dikejar-kejar Wahhabi melarikan diri ke Jawa dan dilindungi Oleh Sultan HB II di Yogyakarta dan Surakarta. Pemukiman para Sayyid di Yogyakarta dikenal dengan nama Sayidan.
Gelombang kedua, pada tahun 1832 yaitu golongan Habaib dari yaman yang dibawa oleh Belanda ke Jawa untuk dijadikan Kapiten-Kapiten di wilayah Jajahan.
Karakteristik Bangsa Arab dari golongan Sayyid yang migrasi di gelombang pertama adalah penyebutan nama tanpa disertai nama Marga, sedangkan golongan Habaib yang dibawa oleh Belanda memiliki ciri penamaan yang disertai nama Marga
Perang Jawa
Ketika terjadi Perang jawa pada tahun 1825, Diponegoro mengangkat senjata bersama pasukannya, diantara pasukan tersebut adalah Para Sayyid dari Arab.
Setelah Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, Pasukan tidak menyerah pada Belanda, melainkan menyebar ke berbagai wilayah di Pulau Jawa dan meneruskan dakwah di tempat yang baru.
Pasukan yang menyebar di Pesisir selatan dari mulai Banyuwangi sampai Banten mendirikan padepokan-padepokan dan pesantren, ciri Pesantren yang didirikan oleh Pasukan Diponegoro adalah terdapat Pohon Sawo.
Selain di pesisir selatan, Pasukan Diponegoro juga menyebar ke berbagai wilayah termasuk ke Pesisir Utara, di beberapa tempat dekat Pesisir Utara terdapat makam-makam Ulama yang juga ditandai dengan Pohon Sawo. Biasanya masyarakat setempat mengkeramatkan makam tersebut.
NB : Dari pemaparan tentang migrasi bangsa Arab ke Nusantara dan Tragedi Perang Jawa, dapat diambil dua Hipotesa sbb :
Pertama Sayyid Al-Husaini yang makamya berada didalam komplek merupakan salah seorang ulama dari golongan Sayyid yang Migrasi ke Jawa pada gelombang pertama ketika terjadi gejolak di Negeri asalnya, dan menyebarkan ajaran Islam di Wilayah Bedanten sehingga makamnya dikeramatkan oleh masyarakat setempat sampai hari ini.
Kedua Sayyid Husaini merupakan salah seorang Sayyid dari pasukan perang Diponegoro yang menyebar ke wilayah pantai utara dan meneruskan dakwah di wilayah Bedanten, Karena Jasa-jasanya itulah Sayyid Al-Husaini dikeramatkan makamnya hingga hari ini.
Menjaga Tradisi di Era Globalisasi
T a n p a c a t a t a n
Tidak ada komentar:
Posting Komentar